Kamis, 24 Juli 2008

Legenda kehidupan masyarakat Sabu

PULAU Sabu atau Rai Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78 kilometer persegi, berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi. Karena itu penyebarannya ke seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup menyolok. Dari Kabupaten Kupang, pulau tersebut dapat dijangkau dengan kapal laut selama 45 menit penerbangan.* Pelapisan sosialLegenda menuturkan, nenek moyang orang Sabu datang dari seberang yang disebut Bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Artinya, orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim di Pulau Sabu. Orang pertama adalah Kika Ga dan kakanya Hawu Ga. Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang.Nama Rai Hawu atau Pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. Beberapa batih yag bersekutu dalam suatu upacara adat adalah keluarga luas, huwue kaba gatti, dengan memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenek atau Heidau Appu. Klen kecil disebut Hewue Kerogo, merupakan gabungan beberapa Udu Dara Ammu. Keturunan dua atau tiga nenek bersaudara, beserta cucu dan keturunannya dipimpin Kattu Kerogo. Klen besar disebit Hewue Udu dipimpin oleh banggu Udu.Secara struktural dalam strata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi Hewue Dara Ammu dengan pimpinannya Kattu Udu Dara Ammu yang memimpin upacara, mengatur norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pemimpin yang pandai dan bijaksana berperan penting dalam kehidupan masyarakat.Kemudian ada hewue Kerogo dipimpin Kattu Kerogo yang mengatur kehidupan Kerogo. Mereka berhak menyatakan pendapat dan hak pakai atas tanah milik Kerogo. Kemudian Hewue Adu dipimpin Banggu Adu mengatur hak pakai tanah untuk Ana Udu karena mempunyai hak ulayat.Setiap penggarapan tanah oleh anggota Udu harus diketahui Banggu Udu. Mereka (Udu) juga tidak dikenakan Ihi Rai, sejenis Upeti yakni sebagian hasil panen diberikan kepada Banggu Udu sebagai tanda mengakui menggarap tanah milik orang lain. Anggota-anggota Udu harus taat kepada Banggu Udu terutama dalam hal bergotong royong. Banggu Udu akan segera turun tangan jika ada yang tidak ikut serta atau melawan tanpa alasan.* Mata pencaharianKehidupan mereka terutama tergantung dari lahan pertanian kering, beternak, menangkap ikan, melakukan kerajinan dan berdagang serta membuat gula sabu dari Nira lontar. Semuanya tidak dikerjakan secara terpisah. Seorang petani mengerjakan juga pekerjaan lainnya, karena mereka memiliki kalender kerja yang bertumupu pada adat. Semuanya dikerjakan secara tradisional seperti menangkap ikan dengan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing.Kerajinan yang menonjol adalah tenun ikat dengan warna dasar cerah, dan menganyam daun pandan. Semua pekerjaan ini hampir tidak bernilai komersial karena masih untuk kebutuhan sendiri, seperti halnya membuat gula Sabu sejenis gula Rote, yang menjadi makanan utama. Namun perkembangan zaman menyebabkan mereka juga menanam tanaman perdagangan seperti bawang merah dan kacang tanah untuk dipasarka. Kacang tanah berkulit yang digoreng bersama pasir, merupakan kekhasan mereka sebagai makanan kecil diwaktu senggang.Cara bertanam masih sangat tradisonal dengan melepaskan ternak tanpa kandang. Jumlah ternak justru menunjukkan status sosial seseorang. Hewan/ternak piaraan lebih berfungsi sosial ketimbang bernilai ekonomi terutama kuda, kerbau dan domba/kambing. Ternak ini sering menjadi pemenuhan kebutuhan upacara adat seperti kalahiran, perkawinan dan kematian, termasuk untuk upacara sakral, magis religius* Sistem religiMasyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum agama kristen. Kini 80 persen masyarakat Sabu beragama kristen protestan. Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi.Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Karena itu, ada dewa perussak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira.Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita Putri Agung, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan, Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga makluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut).Masyarakat Sabu juga memiliki pembawa hujan yaitu angin barat: wa lole, selatan: lou lole dari Timur: dimu lole. Begitu banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Begitu juga pada usaha penyadapan nira, ada dewa mayang, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula SabuKampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung.Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya.Karena itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhidar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahanmanusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras panyudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar. Karena itu, ada dewa perusak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana.* BahasaPulau Sabu secara pemerintahan termasuk Kabupaten Kupang, namun dalam pembagian wilayah pesebarannya, bahasa sabu termasuk kelompok bahasa Bima- Sumba. Bahasa Sabu mencakup dialek Raijua (di Pulau Raijua). Dialek Mesara, Timu dan seba.* Wujud kesenianKesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat. Seni tari antara lain padoa dan ledo hau. Padoa ditarikan pria dan wanita sambil bergandengan tangan, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam, dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian meno pejo, diiringi pedue yang diikat pada pergelangan kaki para penari. Pedue ialah anyaman daun lontar berbentuk ketupat yang diisi kacang hijau secukupnya sehingga menimbulkan suara sesuai irama kaki yang dihentak-hentakkan. Ledo Hau dilakukan berpasangan pria dan wanita diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria.Hentakan kaki, lenggang dan pandangan merupakan gerakan utama. Gerakan lain dalam tarian ini ialah gerakan para pria yang saling memotong dengan klewang yang menjadi perlengkapan tari para pria.Tenun ikat mereka yang terkenal adalah si hawu (sarung sabu) dan higi huri (selimut). Mereka melakukan semua proses seperti umumnya di Nusa Tengggara Timur. Benang direntangkan pada langa (kayu perentang khusus) supaya mudah mengikatnya sesuai motif, setelah dilumuri lilin. Pencelupan dilakukan dengan empat warna dasar yakni biru pekat dan hitam, diperoleh ramuannya dari nila, merah dari mengkudu dan kuning dari kunyit.Motif yang dikenal antara lain flora dan fauna serta motif geometris. Setelah itu benang tersebut direntangkan kembali pada langamane (alat tenun) untuk memulai proses tenun. (kpde kabupaten kupang)
Diposting oleh Spirit NTT

Label:

Senin, 21 Juli 2008

Riwu Ga, orang NTT penyebar berita proklamasi RI

Riwu Ga begitu dekat dengan Bung Karno karena dia satu-satunya yang berada di samping Bung Karno pada saat-saat yang paling berat dalam perjuangan ini. -- MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, 6 September 2004.Siapa yang kenal almarhum Riwu Ga? Mungkin ada, tapi sangat sedikit. Padahal, orang Nusatenggara Timur (NTT) asal Pulau Sabu ini telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa untuk Republik ini. Saya, yang kebetulan orang Flores, NTT, ikut bangga dengan beliau. Ternyata, orang kecil macam Riwu Ga punya kontribusi besar untuk Indonesia.Cerita tentang Riwu Ga sudah ditulis Peter A. Rohi, wartawan senior asal NTT, dan diterbitkan menjadi buku. Peter menulis bagaimana Riwu Ga mendampingi Bung Karno [Ir. Soekarno] selama 14 tahun. Sejak di tanah pembuangan, Ende [Flores], ke Bengkulu, Jakarta, hingga Bung Karno menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Mengutip buku karya Peter A. Rohi, Riwu Ga berperan penting dalam penyebaran berita proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya mendengarkan proklamasi dan mengibarkan bendera merah putih. Bung Karno, tutur Riwu Ga, menyanyi Indonesia Raya keras-keras."Upacara berlangsung sederhana, tapi banyak yang menangis. Saya juga ikut menitikkan air mata," cerita Riwu Ga kepada Peter A. Rohi di pelosok Pulau Timor, NTT, Agustus 1991. Peter perlu merayu pelaku sejarah ini agar mau buka mulut tentang pengalamannya mendampingi Bung Karno."Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!" perintah Bung Karno kepada Riwu Ga, yang akrab dia sapa Wo.Maka, Riwu Ga membawa bendera merah putih di atas jip terbuka yang dikemudikan Sarwoko. "Saya melambai-lambaikan bendera itu. Rakyat berjubel menyambut kami. Saat itu memang tegang. Siapa tahu tiba-tiba kami dicegah atau ditembak Kenpeitai. Tapi ini tugas nasional dari Bung Karno. Maka, saya pun berteriak memberitahukan penduduk Jakarta yang tumpah ke jalan: Hei, rakyat Indonesia, hari ini kita sudah merdeka!"Ucapan Riwu Ga beroleh sambutan. Semua oang di sepanjang jalan mengepalkan tangannya ke atas, lalu berpekik, "Merdeka! Merdeka!" Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan... seluruh sudut Jakarta. Hari itu, tulis Peter A. Rohi, penduduk Jakarta mendengar berita proklamasi kemedekaan dari mulut Riwu Ga, orang NTT. Tidak mungkin dengar radio karena sudah disegel pasukan Jepang.Sore hari, setelah mendengar berita proklamasi, warga Jakarta berkumpul di Pegangsaan Timur. Banyak yang bawa senjata siap siaga menghadapi segala kemungkinan. "Saya dengar mereka bisik-bisik untuk melucuti tentara Jepang. Kita harus punya tentara, dan tentara itu haus punya senjata. Begitu kata penduduk," papar Riwu Ga.Seperti diketahui, proklamasi 17 Agustus 1945 berlangsung pada hari Jumat, bulan Ramadan atau puasa. Ketika azan magrib dikumandangkan, rakyat yang berkumpul di Pegangsaan melakukan sujud syukur. Ada yang ke masjid. Ada yang salat di halaman rumah. Lalu, buka puasa bersama-sama.Pesan Bung Karno ketika masih berada di Flores, 1934-1938: "Kalau sudah merdeka, tidak ada lagi Jawa, tidak ada lagi Timor, Flores, atau Sabu."Esok harinya, 18 Agustus 1945, Bung Karno resmi menjadi presiden. Kepala negara tentu membutuhkan ajudan, pembantu, staf administrasi... yang cakap. Riwu Ga merasa tahu diri dan minta pamit pada Bung Karno dan Ibu Fatmawati. "Saya orang kampung, buta huruf lagi. Tapi saya sudah siap kembali ke kampung halaman saya," ujar Riwu Ga.Sabtu, 17 Agustus 1996, sekitar pukul 18.10 Witeng, Riwu Ga meninggal dunia di Rumah Sakit W.Z. Johannes, Kupang, setelah dirawat selama tiga minggu karena tifus dan komplikasi. Usianya 78. Riwu Ga meninggalkan istrinya, Belandina Riwu Ga, bersama sembilan anak dan 16 cucu. Tak ada pesan atau wasiat apa pun dari almarhum Riwu Ga. Almarhum juga tak pernah meminta dimakamkan di taman makam pahlawan atau minta gelar pahlawan nasional. "Orang tua kami hidup sederhana. Selama hidup beliau tak pernah minta fasilitas kepada pemerintah," kata Nona Ritha Foeh, keluarga Riwu Ga.Tentang Riwu Ga, Megawati Soekarnoputri [anak Bung Karno, mantan presiden] menulis:"Riwu Ga menjadi sekrup kecil yang sangat menentukan ketika sejarah menemukan jalannya. Andaikata dia tidak ada, andai kata dia tidak dekat dengan Bung Karno, dan sejuta andai kata lagi, bisa membelokkan sejarah negeri ini."
Posted by Lambertus L. Hurek .
Copied from : http://hurek.blogspot.com/2007/08/riwu-ga-orang-ntt-penyebar-berita.html

Kebudayaan Sabu Bisa Hilang

Kelompok kesenian tradisional Hawu Miha dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, tampil di Teater Utan Kayu, Jakarta, pada Selasa (3/8). Mereka menampilkan seni tari, nyanyian, pameran tenun ikat, dan penjelasan tentang kebudayaan suku Sabu. Pentas di Jakarta itu bagian dari persiapan mereka untuk pameran di Museum London mulai 8 Agustus mendatang. Tokoh yang berperan di belakang keberhasilan kelompok Hawu Miha yang dipimpin seniman tradisional Elo Lado untuk menembus Jakarta dan London itu adalah Genevieve Duggan MA, seorang antropolog kebudayaan yang tinggal di Singapura. Duggan mengantongi gelar master of art dalam bidang antropologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Sejak 1994, Duggan melakukan riset antropologi kebudayaan suku Sabu. Riset itu hingga kini belum tuntas, namun Duggan telah berhasil menerbitkan buku berjudul Ikats of Savu; Women Weaving History ini Eastern Indonesia terbitan White Lotus, Bangkok, 2001. Setelah pertunjukan di Teater Utan Kayu, Jakarta, wartawan Koran Tempo mewawancarainya melalui surat elektronik pada Jumat (6/8). Berikut kutipannya. Berapa lama riset Anda dan apa tujuannya?
Saya melakukan riset selama 10 tahun sejak 1994. Pertama kali saya tinggal di Pulau Sabu selama dua minggu. Tujuannya dulu untuk mengidentifikasi motif kain tenun Sabu, kemudian menganalisis organisasi sosial masyarakat Sabu, mencari hubungan antara motif dengan organisasi sosial, kebudayaan, dan sejarah Sabu. Saya juga meriset bagaimana masyarakat Sabu berpikir dan menstruktur ruang dan waktu.Apakah riset Anda untuk kepentingan pribadi atau dalam rangkaian untuk studi?
Awalnya untuk kepentingan pribadi, kemudian menjadi studi antropologi.Metode apa yang Anda pakai?
Riset lapangan, wawancara formal dan informal, pakai alat perekam kalau boleh, atau menulis catatan.Apakah riset Anda tuntas?
Belum selesai, mungkin tidak pernah selesai, karena kompleks sekali.Bisa Anda ceritakan diri Anda lebih jauh?
Saya datang ke Jakarta dengan suami saya pada 1988. Saya ikut kelompok Ganesha Society dan belajar sebanyak mungkin buku-buku tentang kebudayaan etnis Indonesia. Setelah itu saya banyak bergaul dengan orang-orang asing di Jakarta. Pada 1990, saya ikut perjalanan keliling ke pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur. Saya menemani turis dan sering berceramah tentang kebudayaan di pulau-pulau tersebut. Saya pertama kali datang ke Sabu pada 1990 dengan kapal lumba-lumba Spice Island Cruises.Mengapa Anda memilih Sabu sebagai subyek riset?
Karena saya tidak dapat cukup informasi tentang Sabu untuk turis, saya mulai bertanya langsung ke masyarakat Sabu dan tinggal di sana pertama kali pada 1994. Sesudah 1994, saya kembali dua kali setiap tahun ke Sabu, dan tinggal beberapa minggu setiap kali kunjungan. Untuk membalas jasa atas bantuan mereka untuk riset saya, saya kemudian membantu di sana juga dengan menyediakan obat-obatan, buku sekolah atau buku rekreasi, dan komputer untuk SMA. Waktu krisis mulai melanda Indonesia, saya mencari donatur ke Jakarta untuk mengirim bantuan ke Sabu setiap tahun.Apa kekhasan Sabu menyangkut ekspresi seni?
Kesenian bukan tujuan utama dari tenun ikat. Setiap kain mempunyai pesan. Ini tujuan utamanya. Oke, kain-kain mereka kelihatan indah, tetapi tidak bebas dalam bermain warna. Kain tenun ikat hanya mengenal tiga warna: biru-hitam, merah, dan putih. Ini warna utama orang Austronesia. Mereka tidak bebas dengan struktur atau komposisi kain, karena kain dipakai seperti kartu tanda penduduk atau paspor, untuk identifikasi semua kelompok wanita dari beberapa keturunan nenek moyang mereka. Apakah masyarakat Sabu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni?
Mereka tidak memiliki apa yang Anda sebut apresiasi yang tinggi itu dibandingkan dengan kebudayaan suku lain. Mereka cukup terisolasi karena masih banyak daerah di Sabu yang tak mempunyai listrik, artinya tidak punya TV, dan pengaruh dari media serta dari luar negeri mungkin kurang. Karena itu, mereka menyimpan dan menjaga tradisi lebih lama daripada orang-orang dari kebudayaan lain.Apakah mereka mempunyai bakat seni lebih besar dari suku lain di Indonesia? Bagaimana misalnya bila dibandingkan dengan suku Asmat di Irian?
Tidak bisa dibandingkan, karena Asmat berekspresi lewat ukiran, sedang Sabu lewat tenun ikat.Mengapa Anda memilih kelompok seni tradisional yang dipimpin Elo Lado untuk mewakili penari Sabu?
Elo Lado adalah asisten saya di lapangan selama 10 tahun. Dia dekat dengan masyarakat Sabu yang masih menganut agama yang masih tradisional. Dia mengerti cara berpikir masyarakat Sabu dan menjaga warisan tradisi. Dia juga seniman. Dia mengerti cara mengikuti upacara ritual. Kesenian Sabu bagian dari agama dan budaya mereka. Apa nama agama mereka?
Namanya Jingi Tiu. Mereka bersembahyang kepada arwah nenek moyang mereka, agar mereka membantu. Menurut kepercayaan mereka, para arwah nenek moyang masih berpengaruh dalam kehidupan mereka. Mereka tidak berani berbicara dengan Tuhan. Agama begitu disebut animisme, tetapi istilah itu tidak tepat benar. Ini perlu dijelaskan lebih panjang lebar dan membutuhkan waktu. Dilemanya pada generasi sekarang, tidak ada lagi agama Jingi Tiu, karena banyak orang memilih agama yang lebih modern (Kristen, Katolik, Islam). Kebudayaan Sabu bisa hilang kalau agama tradisional hilang. Orang Sabu harus sadar bahwa mereka harus menjaga tradisi supaya tidak hilang. Ini tujuan Elo Lado. Copied from : http://www.korantempo.com/news/2004/8/9/Budaya/39.htmlhttp://www.korantempo.com/news/2004/8/9/Budaya/39.html

Sabtu, 03 Mei 2008

Tenun Ikat Kupang Diminati di Jepang

KUPANG – Kain tenun tradisional ikat asal Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap eksis di tengah lajunya kemajuan industri tekstil. Kain tenun ikat hasil olahan tangan para perempuan Kupang itu kini menembus pangsa pasar Jepang. Mereka menyukai tenun dengan motif flora dan fauna seperti buaya atau komodo.

Tenun adalah seni kerajinan tekstil yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat NTT, selain untuk memenuhi kebutuhan sandang sehari-hari juga untuk menambah penghasilan keluarga. Usaha pembuatan tenun ikat ini dilakukan oleh kaum perempuan sejak mereka remaja hingga tua.
Masing-masing daerah di NTT yang dihuni sekitar 15 etnis memiliki potensi tenun yang menganggumkan. Uniknya lagi, hampir di setiap wilayah di NTT memiliki motif dan teknik menenun yang berbeda, begitu juga dengan warna yang ditampilkan.
Teknik tenun bisa digolongkan dalam tiga cara, yakni tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik ini diwariskan secara turun-temurun sehingga menghasilkan jenis dan motif berbeda.
Orang Jepang ternyata sangat meminati kain tenun ikat NTT terutama dengan motif flora dan fauna dan ini hanya dihasilkan di sekitar Pulau Sabu. Mereka juga menyukai motif binatang seperti buaya atau jenis reptilia yang secara setia dipegang etnis Timor.
Salah satu lokasi sentra tenun ikat di Kupang berada di Jalan Kebun Raja II Kelurahan Naikoten I Kupang, NTT, milik Dorce Lussi. Dia menamankan sentra tenun ikatnya dengan nama Ina Ndao. Kain tenun hasil olahan Dorce Lussi selain untuk mencukupi permintaan lokal seperti Surabaya, Jawa Timur serta daerah wisata seperti di Denpasar, Bali ternyata juga diekspor ke Negeri Sakura, Jepang.
“Kami sudah menjual hasil kain tenun ikat Kupang ini hingga ke Jepang. Meski memang tetap harus melalui Surabaya, Jawa Timur,” ujar Ny. Febri (37), salah seorang karyawan di sentra tenun ikat Ina Ndao kepada SH ketika mengunjungi lokasi usaha Dorce Lussi, akhir Juni 2005 lalu.
Kebetulan Dorce Lussi, sang pemilik sentra tenun ikat itu sedang mengikuti Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Jakarta. Sentra tenun ikat Ina Ndao merupakan satu dari 15 mitra binaan PT Jasa Raharja yang pernah mengikuti Pameran BUMN ICRA 2004 di Jakarta Convention Centre.
Menurut Ny. Febri, sebagian besar kain tenun ikat yang dihasilkan sentra tenun ikat Ina Ndao adalah motif dari daerah Rotte dan Sabu dengan ciri utama didominasi dengan warna gelap seperti hitam dan merah tua.
”Kain tenun ikat Kupang ini dapat dijual tidak hanya dalam bentuk kain panjang tapi juga dapat dimodifikasi menjadi sarung, selimut, jas, rompi, dompet, penutup leher serta kebaya. Namun, kebanyakan pemesan lebih menyukai kain tenun ikan dalam bentuk kain panjang,” tuturnya.
Kain tenun ikat Kupang paling murah berharga Rp 150.000 untuk ukuran 1,5 meter x 3 meter dan bisa mencapai Rp 10 juta selembarnya.”Kain tenun ikat asal Kupang termasuk daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagian besar dikerjakan dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu cendana atau kayu hitam,” jelas Ny. Febri lagi.
Dia menyebutkan untuk mengerjakan kain tenun ikat untuk model jas dibutuhkan waktu sekitar 10 hari lebih. Untuk jas ukuran kecil memakan waktu sekitar empat hari.
”Sebagiah besar pekerja yang membuat kain tenun ikan di sentra kain tenun ikat Ina Ndao adalah para remaja. Di antara mereka ada yang masih berstatus pelajar. Biasanya mereka mengerjakan kain tenun ikat sepulang dari sekolah,” tambahnya.
Dipasok dari Luar Kupang
Bahan baku untuk usaha kain tenun ikat di Kupang dipasok dari sejumlah daerah terutama dari Surabaya, Jawa Timur. Bahan baku tersebut berupa benang termasuk juga bahan baku warna. Alat tenun yang terbuat dari kayu cukup didatangkan dari daerah di luuar Kota Kupang seperti dari Desa So’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Alat tenun kain di NTT tidak jauh berbeda dibanding dengan daerah lainnya di Tanah Air.
Usaha kain tenun ikat Ina Ndao bisa berkembang pesat tidak lepas dari keterlibatan PT Jasa Raharja, satu dari sekian banyak badan usaha milik negara (BUMN) yang memberikan suntikan modal usaha dalam sebuah program yang dikenal dengan nama Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).
Dari 1992 hingga 2005 pihak PT Jasa Raharja Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut Kepala Cabangnya, Syaiful Hazairin telah mengeluarkan sedikitnya 4,7 miliar untuk PKBL itu. Dari jumlah itu, sekitar Rp 600 juta sudah tersalurkan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah Provinsi NTT.
“Kami sangat dibantu oleh pihak PT Jasa Raharja NTT,” ungkap Ny. Febri, karyawan di sentra kain tenun ikat Ina Ndao. Dia mengakui, usaha kain tenun ikat ini pertama kali mendapat suntikan dana modal dari PT Jasa Raharja sebesar Rp 25 juta.
Pinjaman kedua mencapai Rp 10 juta lebih. Kini, usaha kain tenun ikat Ina Ndao telah berkembang. Bahkan, kini telah merambah ke bidang lainnya seperti menyediakan bahan-bahan tenun dari Parada serta usaha percetakan.
Untuk memasarkan hasilnya, sentra kain tenun ikat Ina Ndao juga membuka toko yang menjual langsung hasil olahan kain tenun ikat seperti jas, kebaya, sarung, kopiah shalat, dompet serta kain untuk menutup leher. Warga Kupang yang ingin membeli bisa langsung ke toko yang terletak di lantai dua di sentra kain tenun ikat Ina Ndao.
(SH/norman meoko)
Disadur : http://www.sinarharapan.co.id

Membawa Tenun Sabu Ke Dunia Luar

Wanita yang satu ini memang bukan berasal dari Indonesia. Akan tetapi, kiprahnya di Nusantara membuat kita patut bercermin dan merenungkan kiprah kita dalam melestarikan kekayaan budaya tradisional negeri ini.

Bisa jadi kita tertohok dengan apa yang digelutinya selama 11 tahun terakhir ini. Dia bahkan ingin menunjukkan pada dunia bagaimana sebuah tempat di Tanah Air ini merajut karya adiluhung warisan nenek moyang.

Dialah Genevieve Duggan, yang berada di Inggris hingga 22 Agustus lalu bersama empat orang seniman asal Sabu, sebuah pulau kecil di selatan Nusa Tenggara Timur. Mereka sedang menggelar pameran dan mengadakan workshop kepada para pengunjung Museum Horniman, London.

Program spesial bertema Wooven Blossom: Indonesian Textile itu akan mengajarkan kepada siapa saja yang berminat untuk menenun kain, menggunakan teknik ikat, ciri khas Sabu. Pekerjaan dimulai dengan memilin kapas, menjalinnya ke gelendong, hingga menggunakan alat tenun dari kayu yang kesemuanya dilakukan di Balcony Gallery secara gratis.

Awalnya wanita kelahiran Prancis ini datang pertama kali ke Sabu untuk menemani turis dari Spice Island Cruises pada 1990. Keindahan pulau serta khasanah budaya menambatkan hatinya untuk kemudian secara terus menerus berkunjung ke sana.

Sejak 1994, dia mulai tinggal setiap tahun di Sabu untuk belajar kebudayaan dan tradisi tenun. Mengenal motif sarung dan selimut, sekaligus mempelajari peranan dan fungsi kain tenun itu dalam masyarakat sekaligus dalam sejarah Sabu.

Soal kain, memang tenun Sabu bukan satu-satunya yang memikat perempuan ini dalam mencintai Indonesia. Dia juga tertarik pada batik, khususnya batik peranakan, sebagaimana dibahas dalam buku Batik Drawn in Wax suntingan karya Itie Van Hout, terbitan Tropenmuseum Amsterdam, 2001.

Baru-baru ini dia pindah ke Singapura mengikuti suami yang bertugas di negara kota itu. Dia merasa beruntung tidak tinggal terlalu jauh dari Indonesia.

Memprihatinkan

Dia cukup prihatin melihat perkembangan Sabu sekarang ini. Sekarang gadis muda tidak lagi menyukai tenun. Kalau pun suka, mereka tidak tertarik dengan motif tradisional. Mereka juga tidak tahu tentang sejarah terciptanya motif atau wini tersebut.

Padahal yang unik dari kain tenun Sabu adalah kisah-kisah di balik terciptanya motif. Kisah yang dituturkan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Kalau mereka menerima kain sebagai pusaka dari nenek, kain itu seringkali mereka jual untuk membeli bahan-bahan komoditi. Ancaman akan punahnya kain tenun ini menjadi semakin besar ketika kain tradisional bermotif yang mempunyai arti tidak ada lagi, juga tidak ada yang tahu bagaimana menenunnya lagi.

Itulah mengapa terbersit dalam pemikirannya untuk memperlihatkan kepada orang Sabu bahwa kebudayaan mereka adalah kebudayaan yang ingin dikenal luas masyarakat dunia. "Kalau ada interest dari luar negeri atau dari kebudayaan lain di Indonesia, kami harap orang Sabu menjadi tertarik lagi dengan kebudayaan mereka sendiri," tuturnya.

Dia ingin mereka mengetahui tentang arti pusaka dan nilai budaya yang mereka miliki. Proyek pameran di London itu diharapkan bisa membantu orang Sabu menemukan kembali nilai budaya mereka, tak lain agar mereka sadar terhadap budaya mereka.

Hal ini, menurutnya, bukan permasalahan yang terjadi di Sabu saja, tapi juga di banyak kebudayaan. Dia menilai media, khususnya televisi, mempunyai peran dan tanggungjawab dalam perusakan ataupun pelestarian budaya

Orang dari kebudayaan tradisional tidak bisa mengambil model sewaktu menonton tv. Model yang mereka lihat melalui tv adalah gaya hidup konsumtif dengan fokus pada barang-barang barat atau dari luar negeri. Masih jarang stasiun TV yang mau mengangkat kekayaan budaya dari kebudayaan kecil seperti Sabu.

Untuk itu dalam pameran di London, para seniman dari Yayasan Hawu Miha Ngara itu akan membuat koleksi kain tenun Sabu. Kain replika pusaka tersebut akan disimpan di museum dan oleh sejumlah kolektor.

Pergulatannya sebagai seorang antropolog budaya memungkinkannya memahami kebudayaan Sabu lebih jauh. Menurutnya, Sabu membutuhkan bantuan untuk mengkonservasi rumah adat, tempat kramat berupa Megalith, selain juga pelestarian tradisi tenun dan upacara tradisionalnya.

Hal ini, katanya, memerlukan lebih banyak fokus dari pemerintah maupun masyarakat agar budaya ini tidak hilang. Pemerintah, misalnya, bisa memberikan pendidikan yang memajukan kesadaran masyarakat tentang kekayaan budaya mereka. Yang tidak saja di Jawa, bali, Sumatra maupun di Toraja saja tapi juga di semua propinsi, tandasnya.

Lulusan dari University Heidelberg, Jerman itu memang tidak bekerja pada suatu instansi tertentu di mana dia memperoleh sejumlah gaji. Dia melakukan itu semua semata-mata karena insiatif pribadi.

Tinggal lama di Indonesia membuat lidahnya cukup fasih menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun patut dimaklumi terkadang ada kata-kata yang salah tempat. Dia mengaku belajar bahasa Indonesia khusus untuk orang asing di Universitas Atma Jaya pada 1988-1990.

Usianya yang lebih dari separuh abad tidak menyurutkannya untuk terus berupaya melestarikan budaya tradisional. Sekarang semuanya terpulang pada kita bagaimana berperan dalam upaya menjaga kelestarian budaya tradisional, yang jelas-jelas kekayaan asli bangsa ini.

Disadur dari :http://www.textile.web.id

Rabu, 04 Juli 2007

Like Father like Mother

She's My Little First .....
Blacky but Sweety ... I Love You Babe...
Be U'r Papa Sweety Darling ...... Now and Forever .......
Be U'r Mam Light Candle in the Dark ...
Be Our Exotic Melody in the Silent ......
Your's
Papa & Mama

UPACARA-UPACARA ADAT

Dalam hubungannya dengan pertanian banyak upacara-upacara yang dilakukan, misalnya: Upacara pertanian di pulau Sawu yang dilaksanakan da;am bulan Kelia Wadu yakni Juli-Agustus membawa persembahan memanggil mayang dan air nira. Bulan Agustus - September dilakukan upacara permohonan agar pohon lontar mempunyai banyak mayang dan nira. Begitu seterusnya penyadapan air nira dan dimasak menjadi gula, selalu disertai upacara-upacara. Begitu pula akan memulai menanami ladang sampai panen diadakan upacara-upacara seperti upacara Dabu, upacara Bange Liu dan upacara Holle. Upacara yang berhubungan dengan pertanian yang terkenal di pulau Rote adalah upacara Uus, yang disertai dengan pesta tanda sukaria. Di Timor upacara pertanian dilakaukan sejak mencari tempat pertanian atau ladang sampai panen, yakni upacara menebang pohon, membakar kayu, sifonafo atau memadamkan abu, menutiup parit, memetik jagung pertama dan upacara padi.Selain upacara-upacara yang berhubungan dengan pertanian masyarakat Nusa Tenggara Timur juga mengadakan upacara-upacara yang berkaitan dengan lingjaran hidup manusia. Misaklnya upacara kelahiran, upacara mahapi ma maheli yakni iniasi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa bagi anak laki-laki. Dalam upacara perkawinan terdapat berbagai variasi di beberapa daerah, namun pada umumnya proses perkawinan yang wajar selalu disertai dengan pembayaran mas kawin atau belis dari pihak laki-laki kepada calon mempelai wanita. Adapun macam-macam mas kawin utama adalah gading, di Sumba selain gading juga logam mulia dalam bentuk kalung, sisir, anting dan hewan. Untuk pulau Sawu mas kawin utama adalah Sirih Pinang.Pada suku bangsa timor, upacara kematian memegang peranan penting, sebagai persembahan dan peringatan kepada si mati. Di pulau Sabu terdapat beberapa upacara kematian yakni upacara kematian Dewan Mone Ama, upacara kematian orang mati kecelakaan ini diadakan pesta serta tarian Lido puru Rai serta makan-makan sejumlah hewan yang dipotong.Pada upacara kematian Dewan Mone Ama, upacaranya tidak sama dengan orang biasa. Ujung jari tangan, kaki dan tidak dipotong dan dikuburkan tersendiri oleh penggantinya tanpa diketahui seseorang. Lobang kubur berbentuk bulat, mayat dikubur dalam posisi jongkok dan di atas kepalanya ditutup gong. Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan di luar rumah dan bentuk kuburannya persegi panjang. Upacaranya disebut Rue di mana pada upacara ini dipotong 7 ekor hewan antara lain babi, kambing, ayam, anjing dan sebagainya, sedangkan pada upacara kematian yang biasa, mayat dibungkus dengan selimut adat dan dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan pinang. Di atas kuburannya dipotong hewan kecil misalnya seekor kutu babi, sebagai tambahan bekal si mati. Tenunan Nusa Tenggara Timur yang menghasilakn sarung selendang dan lain-lain merupakan hasil kerajinan rakyat yang tinggi mutunya. Motif dan coraknya beraneka warna sesuai denga daerah di mana asal tenunan tersebut dibuat. Kain-kain tenunan selain untuk keperluan adat maupun pribadi, merupakan hasil mata pencaharian tambahan sehingga tenunan Nusa Tenggara Timur ini terkenal sampai ke luar negeri. Motif-motif kain tenunan dari sumba umumnya bermotif kerbau, kuda dan batu kubur, dari pulau proti bermotifkan padi dan garis-garis geometri, sedangkan Sawu motif tenunannya adalah pohon kelapa, dan lain sebagainya. Warna yang dipakai adalah coklat kemerahan atau biru dan proses pembuatannya dengan teknik ikat tertentu dalam pencelupan atau dengan mengatur benang-benang yang berlainan warna dalam menenunnya.