Sabtu, 03 Mei 2008

Tenun Ikat Kupang Diminati di Jepang

KUPANG – Kain tenun tradisional ikat asal Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap eksis di tengah lajunya kemajuan industri tekstil. Kain tenun ikat hasil olahan tangan para perempuan Kupang itu kini menembus pangsa pasar Jepang. Mereka menyukai tenun dengan motif flora dan fauna seperti buaya atau komodo.

Tenun adalah seni kerajinan tekstil yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat NTT, selain untuk memenuhi kebutuhan sandang sehari-hari juga untuk menambah penghasilan keluarga. Usaha pembuatan tenun ikat ini dilakukan oleh kaum perempuan sejak mereka remaja hingga tua.
Masing-masing daerah di NTT yang dihuni sekitar 15 etnis memiliki potensi tenun yang menganggumkan. Uniknya lagi, hampir di setiap wilayah di NTT memiliki motif dan teknik menenun yang berbeda, begitu juga dengan warna yang ditampilkan.
Teknik tenun bisa digolongkan dalam tiga cara, yakni tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik ini diwariskan secara turun-temurun sehingga menghasilkan jenis dan motif berbeda.
Orang Jepang ternyata sangat meminati kain tenun ikat NTT terutama dengan motif flora dan fauna dan ini hanya dihasilkan di sekitar Pulau Sabu. Mereka juga menyukai motif binatang seperti buaya atau jenis reptilia yang secara setia dipegang etnis Timor.
Salah satu lokasi sentra tenun ikat di Kupang berada di Jalan Kebun Raja II Kelurahan Naikoten I Kupang, NTT, milik Dorce Lussi. Dia menamankan sentra tenun ikatnya dengan nama Ina Ndao. Kain tenun hasil olahan Dorce Lussi selain untuk mencukupi permintaan lokal seperti Surabaya, Jawa Timur serta daerah wisata seperti di Denpasar, Bali ternyata juga diekspor ke Negeri Sakura, Jepang.
“Kami sudah menjual hasil kain tenun ikat Kupang ini hingga ke Jepang. Meski memang tetap harus melalui Surabaya, Jawa Timur,” ujar Ny. Febri (37), salah seorang karyawan di sentra tenun ikat Ina Ndao kepada SH ketika mengunjungi lokasi usaha Dorce Lussi, akhir Juni 2005 lalu.
Kebetulan Dorce Lussi, sang pemilik sentra tenun ikat itu sedang mengikuti Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Jakarta. Sentra tenun ikat Ina Ndao merupakan satu dari 15 mitra binaan PT Jasa Raharja yang pernah mengikuti Pameran BUMN ICRA 2004 di Jakarta Convention Centre.
Menurut Ny. Febri, sebagian besar kain tenun ikat yang dihasilkan sentra tenun ikat Ina Ndao adalah motif dari daerah Rotte dan Sabu dengan ciri utama didominasi dengan warna gelap seperti hitam dan merah tua.
”Kain tenun ikat Kupang ini dapat dijual tidak hanya dalam bentuk kain panjang tapi juga dapat dimodifikasi menjadi sarung, selimut, jas, rompi, dompet, penutup leher serta kebaya. Namun, kebanyakan pemesan lebih menyukai kain tenun ikan dalam bentuk kain panjang,” tuturnya.
Kain tenun ikat Kupang paling murah berharga Rp 150.000 untuk ukuran 1,5 meter x 3 meter dan bisa mencapai Rp 10 juta selembarnya.”Kain tenun ikat asal Kupang termasuk daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagian besar dikerjakan dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu cendana atau kayu hitam,” jelas Ny. Febri lagi.
Dia menyebutkan untuk mengerjakan kain tenun ikat untuk model jas dibutuhkan waktu sekitar 10 hari lebih. Untuk jas ukuran kecil memakan waktu sekitar empat hari.
”Sebagiah besar pekerja yang membuat kain tenun ikan di sentra kain tenun ikat Ina Ndao adalah para remaja. Di antara mereka ada yang masih berstatus pelajar. Biasanya mereka mengerjakan kain tenun ikat sepulang dari sekolah,” tambahnya.
Dipasok dari Luar Kupang
Bahan baku untuk usaha kain tenun ikat di Kupang dipasok dari sejumlah daerah terutama dari Surabaya, Jawa Timur. Bahan baku tersebut berupa benang termasuk juga bahan baku warna. Alat tenun yang terbuat dari kayu cukup didatangkan dari daerah di luuar Kota Kupang seperti dari Desa So’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Alat tenun kain di NTT tidak jauh berbeda dibanding dengan daerah lainnya di Tanah Air.
Usaha kain tenun ikat Ina Ndao bisa berkembang pesat tidak lepas dari keterlibatan PT Jasa Raharja, satu dari sekian banyak badan usaha milik negara (BUMN) yang memberikan suntikan modal usaha dalam sebuah program yang dikenal dengan nama Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).
Dari 1992 hingga 2005 pihak PT Jasa Raharja Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut Kepala Cabangnya, Syaiful Hazairin telah mengeluarkan sedikitnya 4,7 miliar untuk PKBL itu. Dari jumlah itu, sekitar Rp 600 juta sudah tersalurkan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah Provinsi NTT.
“Kami sangat dibantu oleh pihak PT Jasa Raharja NTT,” ungkap Ny. Febri, karyawan di sentra kain tenun ikat Ina Ndao. Dia mengakui, usaha kain tenun ikat ini pertama kali mendapat suntikan dana modal dari PT Jasa Raharja sebesar Rp 25 juta.
Pinjaman kedua mencapai Rp 10 juta lebih. Kini, usaha kain tenun ikat Ina Ndao telah berkembang. Bahkan, kini telah merambah ke bidang lainnya seperti menyediakan bahan-bahan tenun dari Parada serta usaha percetakan.
Untuk memasarkan hasilnya, sentra kain tenun ikat Ina Ndao juga membuka toko yang menjual langsung hasil olahan kain tenun ikat seperti jas, kebaya, sarung, kopiah shalat, dompet serta kain untuk menutup leher. Warga Kupang yang ingin membeli bisa langsung ke toko yang terletak di lantai dua di sentra kain tenun ikat Ina Ndao.
(SH/norman meoko)
Disadur : http://www.sinarharapan.co.id

Membawa Tenun Sabu Ke Dunia Luar

Wanita yang satu ini memang bukan berasal dari Indonesia. Akan tetapi, kiprahnya di Nusantara membuat kita patut bercermin dan merenungkan kiprah kita dalam melestarikan kekayaan budaya tradisional negeri ini.

Bisa jadi kita tertohok dengan apa yang digelutinya selama 11 tahun terakhir ini. Dia bahkan ingin menunjukkan pada dunia bagaimana sebuah tempat di Tanah Air ini merajut karya adiluhung warisan nenek moyang.

Dialah Genevieve Duggan, yang berada di Inggris hingga 22 Agustus lalu bersama empat orang seniman asal Sabu, sebuah pulau kecil di selatan Nusa Tenggara Timur. Mereka sedang menggelar pameran dan mengadakan workshop kepada para pengunjung Museum Horniman, London.

Program spesial bertema Wooven Blossom: Indonesian Textile itu akan mengajarkan kepada siapa saja yang berminat untuk menenun kain, menggunakan teknik ikat, ciri khas Sabu. Pekerjaan dimulai dengan memilin kapas, menjalinnya ke gelendong, hingga menggunakan alat tenun dari kayu yang kesemuanya dilakukan di Balcony Gallery secara gratis.

Awalnya wanita kelahiran Prancis ini datang pertama kali ke Sabu untuk menemani turis dari Spice Island Cruises pada 1990. Keindahan pulau serta khasanah budaya menambatkan hatinya untuk kemudian secara terus menerus berkunjung ke sana.

Sejak 1994, dia mulai tinggal setiap tahun di Sabu untuk belajar kebudayaan dan tradisi tenun. Mengenal motif sarung dan selimut, sekaligus mempelajari peranan dan fungsi kain tenun itu dalam masyarakat sekaligus dalam sejarah Sabu.

Soal kain, memang tenun Sabu bukan satu-satunya yang memikat perempuan ini dalam mencintai Indonesia. Dia juga tertarik pada batik, khususnya batik peranakan, sebagaimana dibahas dalam buku Batik Drawn in Wax suntingan karya Itie Van Hout, terbitan Tropenmuseum Amsterdam, 2001.

Baru-baru ini dia pindah ke Singapura mengikuti suami yang bertugas di negara kota itu. Dia merasa beruntung tidak tinggal terlalu jauh dari Indonesia.

Memprihatinkan

Dia cukup prihatin melihat perkembangan Sabu sekarang ini. Sekarang gadis muda tidak lagi menyukai tenun. Kalau pun suka, mereka tidak tertarik dengan motif tradisional. Mereka juga tidak tahu tentang sejarah terciptanya motif atau wini tersebut.

Padahal yang unik dari kain tenun Sabu adalah kisah-kisah di balik terciptanya motif. Kisah yang dituturkan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Kalau mereka menerima kain sebagai pusaka dari nenek, kain itu seringkali mereka jual untuk membeli bahan-bahan komoditi. Ancaman akan punahnya kain tenun ini menjadi semakin besar ketika kain tradisional bermotif yang mempunyai arti tidak ada lagi, juga tidak ada yang tahu bagaimana menenunnya lagi.

Itulah mengapa terbersit dalam pemikirannya untuk memperlihatkan kepada orang Sabu bahwa kebudayaan mereka adalah kebudayaan yang ingin dikenal luas masyarakat dunia. "Kalau ada interest dari luar negeri atau dari kebudayaan lain di Indonesia, kami harap orang Sabu menjadi tertarik lagi dengan kebudayaan mereka sendiri," tuturnya.

Dia ingin mereka mengetahui tentang arti pusaka dan nilai budaya yang mereka miliki. Proyek pameran di London itu diharapkan bisa membantu orang Sabu menemukan kembali nilai budaya mereka, tak lain agar mereka sadar terhadap budaya mereka.

Hal ini, menurutnya, bukan permasalahan yang terjadi di Sabu saja, tapi juga di banyak kebudayaan. Dia menilai media, khususnya televisi, mempunyai peran dan tanggungjawab dalam perusakan ataupun pelestarian budaya

Orang dari kebudayaan tradisional tidak bisa mengambil model sewaktu menonton tv. Model yang mereka lihat melalui tv adalah gaya hidup konsumtif dengan fokus pada barang-barang barat atau dari luar negeri. Masih jarang stasiun TV yang mau mengangkat kekayaan budaya dari kebudayaan kecil seperti Sabu.

Untuk itu dalam pameran di London, para seniman dari Yayasan Hawu Miha Ngara itu akan membuat koleksi kain tenun Sabu. Kain replika pusaka tersebut akan disimpan di museum dan oleh sejumlah kolektor.

Pergulatannya sebagai seorang antropolog budaya memungkinkannya memahami kebudayaan Sabu lebih jauh. Menurutnya, Sabu membutuhkan bantuan untuk mengkonservasi rumah adat, tempat kramat berupa Megalith, selain juga pelestarian tradisi tenun dan upacara tradisionalnya.

Hal ini, katanya, memerlukan lebih banyak fokus dari pemerintah maupun masyarakat agar budaya ini tidak hilang. Pemerintah, misalnya, bisa memberikan pendidikan yang memajukan kesadaran masyarakat tentang kekayaan budaya mereka. Yang tidak saja di Jawa, bali, Sumatra maupun di Toraja saja tapi juga di semua propinsi, tandasnya.

Lulusan dari University Heidelberg, Jerman itu memang tidak bekerja pada suatu instansi tertentu di mana dia memperoleh sejumlah gaji. Dia melakukan itu semua semata-mata karena insiatif pribadi.

Tinggal lama di Indonesia membuat lidahnya cukup fasih menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun patut dimaklumi terkadang ada kata-kata yang salah tempat. Dia mengaku belajar bahasa Indonesia khusus untuk orang asing di Universitas Atma Jaya pada 1988-1990.

Usianya yang lebih dari separuh abad tidak menyurutkannya untuk terus berupaya melestarikan budaya tradisional. Sekarang semuanya terpulang pada kita bagaimana berperan dalam upaya menjaga kelestarian budaya tradisional, yang jelas-jelas kekayaan asli bangsa ini.

Disadur dari :http://www.textile.web.id