Sabtu, 03 Mei 2008

Membawa Tenun Sabu Ke Dunia Luar

Wanita yang satu ini memang bukan berasal dari Indonesia. Akan tetapi, kiprahnya di Nusantara membuat kita patut bercermin dan merenungkan kiprah kita dalam melestarikan kekayaan budaya tradisional negeri ini.

Bisa jadi kita tertohok dengan apa yang digelutinya selama 11 tahun terakhir ini. Dia bahkan ingin menunjukkan pada dunia bagaimana sebuah tempat di Tanah Air ini merajut karya adiluhung warisan nenek moyang.

Dialah Genevieve Duggan, yang berada di Inggris hingga 22 Agustus lalu bersama empat orang seniman asal Sabu, sebuah pulau kecil di selatan Nusa Tenggara Timur. Mereka sedang menggelar pameran dan mengadakan workshop kepada para pengunjung Museum Horniman, London.

Program spesial bertema Wooven Blossom: Indonesian Textile itu akan mengajarkan kepada siapa saja yang berminat untuk menenun kain, menggunakan teknik ikat, ciri khas Sabu. Pekerjaan dimulai dengan memilin kapas, menjalinnya ke gelendong, hingga menggunakan alat tenun dari kayu yang kesemuanya dilakukan di Balcony Gallery secara gratis.

Awalnya wanita kelahiran Prancis ini datang pertama kali ke Sabu untuk menemani turis dari Spice Island Cruises pada 1990. Keindahan pulau serta khasanah budaya menambatkan hatinya untuk kemudian secara terus menerus berkunjung ke sana.

Sejak 1994, dia mulai tinggal setiap tahun di Sabu untuk belajar kebudayaan dan tradisi tenun. Mengenal motif sarung dan selimut, sekaligus mempelajari peranan dan fungsi kain tenun itu dalam masyarakat sekaligus dalam sejarah Sabu.

Soal kain, memang tenun Sabu bukan satu-satunya yang memikat perempuan ini dalam mencintai Indonesia. Dia juga tertarik pada batik, khususnya batik peranakan, sebagaimana dibahas dalam buku Batik Drawn in Wax suntingan karya Itie Van Hout, terbitan Tropenmuseum Amsterdam, 2001.

Baru-baru ini dia pindah ke Singapura mengikuti suami yang bertugas di negara kota itu. Dia merasa beruntung tidak tinggal terlalu jauh dari Indonesia.

Memprihatinkan

Dia cukup prihatin melihat perkembangan Sabu sekarang ini. Sekarang gadis muda tidak lagi menyukai tenun. Kalau pun suka, mereka tidak tertarik dengan motif tradisional. Mereka juga tidak tahu tentang sejarah terciptanya motif atau wini tersebut.

Padahal yang unik dari kain tenun Sabu adalah kisah-kisah di balik terciptanya motif. Kisah yang dituturkan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Kalau mereka menerima kain sebagai pusaka dari nenek, kain itu seringkali mereka jual untuk membeli bahan-bahan komoditi. Ancaman akan punahnya kain tenun ini menjadi semakin besar ketika kain tradisional bermotif yang mempunyai arti tidak ada lagi, juga tidak ada yang tahu bagaimana menenunnya lagi.

Itulah mengapa terbersit dalam pemikirannya untuk memperlihatkan kepada orang Sabu bahwa kebudayaan mereka adalah kebudayaan yang ingin dikenal luas masyarakat dunia. "Kalau ada interest dari luar negeri atau dari kebudayaan lain di Indonesia, kami harap orang Sabu menjadi tertarik lagi dengan kebudayaan mereka sendiri," tuturnya.

Dia ingin mereka mengetahui tentang arti pusaka dan nilai budaya yang mereka miliki. Proyek pameran di London itu diharapkan bisa membantu orang Sabu menemukan kembali nilai budaya mereka, tak lain agar mereka sadar terhadap budaya mereka.

Hal ini, menurutnya, bukan permasalahan yang terjadi di Sabu saja, tapi juga di banyak kebudayaan. Dia menilai media, khususnya televisi, mempunyai peran dan tanggungjawab dalam perusakan ataupun pelestarian budaya

Orang dari kebudayaan tradisional tidak bisa mengambil model sewaktu menonton tv. Model yang mereka lihat melalui tv adalah gaya hidup konsumtif dengan fokus pada barang-barang barat atau dari luar negeri. Masih jarang stasiun TV yang mau mengangkat kekayaan budaya dari kebudayaan kecil seperti Sabu.

Untuk itu dalam pameran di London, para seniman dari Yayasan Hawu Miha Ngara itu akan membuat koleksi kain tenun Sabu. Kain replika pusaka tersebut akan disimpan di museum dan oleh sejumlah kolektor.

Pergulatannya sebagai seorang antropolog budaya memungkinkannya memahami kebudayaan Sabu lebih jauh. Menurutnya, Sabu membutuhkan bantuan untuk mengkonservasi rumah adat, tempat kramat berupa Megalith, selain juga pelestarian tradisi tenun dan upacara tradisionalnya.

Hal ini, katanya, memerlukan lebih banyak fokus dari pemerintah maupun masyarakat agar budaya ini tidak hilang. Pemerintah, misalnya, bisa memberikan pendidikan yang memajukan kesadaran masyarakat tentang kekayaan budaya mereka. Yang tidak saja di Jawa, bali, Sumatra maupun di Toraja saja tapi juga di semua propinsi, tandasnya.

Lulusan dari University Heidelberg, Jerman itu memang tidak bekerja pada suatu instansi tertentu di mana dia memperoleh sejumlah gaji. Dia melakukan itu semua semata-mata karena insiatif pribadi.

Tinggal lama di Indonesia membuat lidahnya cukup fasih menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun patut dimaklumi terkadang ada kata-kata yang salah tempat. Dia mengaku belajar bahasa Indonesia khusus untuk orang asing di Universitas Atma Jaya pada 1988-1990.

Usianya yang lebih dari separuh abad tidak menyurutkannya untuk terus berupaya melestarikan budaya tradisional. Sekarang semuanya terpulang pada kita bagaimana berperan dalam upaya menjaga kelestarian budaya tradisional, yang jelas-jelas kekayaan asli bangsa ini.

Disadur dari :http://www.textile.web.id

Tidak ada komentar: